LIMAPULUH SATU

Limapuluh satu, usia matang organisasi. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tepat tanggal 14 Maret 2015 berusia 51 tahun, kedewasaan dalam berorganisasi tentu mutlak harus dihadirkan. kedewasaan yang seperti apa, kedewasaan cara mengelola organisasi. Pertama, sudah saatnya administrasi dari tingkat komisariat sampai pusat dipatuhi, dijalankan. Pedoman administrasi Bukan hanya dibuka pada saat pelatihan saja. tapi harus lebih dari itu, di implementasikan. Kedua, perkaderan harus memberikan dampak yang nyata bagi gerak organisasi, baik itu dampak saat berproses di tingkat pimpinan, maupun pada saat sudah tidak menjabat struktural di imm.

Kedua poin ini menurut penulis, sangat mendesak diimplementasikan secepatnya, karena tanpa kekuatan admnistrasi dan perkaderan yang tertata dengan tertib, maka IMM akan menemui pelemahan-pelemahan dikemudian hari.

Fastabiqul Khoirot.

Khusnul Ma’arif

KEBIJAKSANAAN DIPELUPUK MATA

Sebentar lagi usiamu sudah mencapai 49 tahun, hampir setengah abad  lamanya, sudah tua memang usiamu kini, ingat..! kamu tidak muda lagi, sudah saatnya kamu memberi sebuah kebijaksanaan yang sangat anggun untuk persyarikatan dan untuk bangsa ini pada umumnya, sudah saatnya kamu menjadi sebuah kontributor yang nyata bagi perkembangan pemikiran ummat, sudah saatnya kamu lebih tawadhu’ dalam bersikap, dan sudah saatnya kamu tidak hanya memikirkan masa depan yang hanya sesaat, namun bagi keberlanjutan seluruh komponen yang ada disekitarmu.

Masih tidak lekang diingatan kita dinamika yang terjadi dari masa ke masa,mari kita baca lagi buku mengenai sejarah pendirianmu di tahun 60an, dari awal pendirian pada saat gejolak politik yang tidak menentu, membutuhkan pengorbanan yang besar untuk dapat sekedar diakui sebagai perkumpulan para intelek muda dari sebuah persyarikatan yang lahir di kauman, banyak yang sinis tentang mu, bahkan sampai ada yang mempersoalkan terkait kelahiranmu. Dimasa-masa konsolidasi banyak friksi yang timbul di dalam dirimu atau sesuatu dari luar yang sangat berpengaruh nyata bagimu, banyak perkembangan zaman yang menuntutmu untuk mengikutinya dan kamu belajar untuk mengikuti perkembangan positif sebuah era. Di masa menuju kematangan di usia emas kamu berkali-kali dihantam permasalahan  namun kau masih tetap kuat, sekali lagi…. Atas berkat rahmat tuhan dan kualitas dari Sumber daya yang kamu miliki mampu menolong itu,  untuk   mengais permasalahanmu sehingga dapat dijadikan sebuah pelajaran hidup buatmu nanti, bukankah itu adalah bekal yang berharga untuk usia emasmu kelak.

Kekuatan pilarmu yang kokoh menjadi gambaran yang sangat kontras jika seandainya kau tersimpuh, tergolek lemas dan menyerah. Lambang kuncup melati muda memberikan sebuah pengharapan bahwa akan masih banyak Penerus yang nanti siap menyokongmu jika sewaktu-waktu dibutuhkan , dan jangan lupa masih ada orangtuamu yang sewaktu-waktu bisa men”jewer” mu jika memang nakal dan bandel. Ingatlah pesan di Taman Kanak-kanak bahwa hormatilah orang tua kita.  Walaupun orangtuamu sudah berumur Seabad lebih tapi sepertinya masih kuat untuk meneruskan perjuangannya, walaupun geraknya melintasi zaman namun masih akan sangat dibutuhkan buat kamu kapanpun dan dimanapun kamu berada. Sebab orang tuamu juga mempunyai tekad untuk memberikan yang terbaik buat anaknya.

Entah sudah berapa permasalahan yang kau hadapi dari kau lahir sampai saat ini, saking banyaknya bahkan tidak ada yang sempat menghitung, ditambah permasalahanmu kini. Ada asap maka ada api, ada permasalahan maka pasti ada penyebabnya. Apa penyebab permasalahanmu kini……?, disaat menjelang usiamu yang hampir setengah abad ini (49 tahun-red) bukannya kau bersuka cita untuk berbenah malah sibuk dengan masalah yang menderamu kini. Ada yang menyeretmu ke timur dan ada yang menyeretmu ke barat. Kini kau mempunyai kans untuk menggantikan hoby petinggi  PSSI,(Dualisme, PSSI & KPSI). Dan bisa dibilang kau terjangkit “Kelainan”,  ditubuhmu terdapat dua kepala dalam satu raga (Dempet siam), mempunyai dua otak yang masing-masing tidak mau berbagi untu mendapatkan hati saraf-saraf tubuhmu, akan sangat kasihan tubuhmu, dan bahkan bisa saja dua kepalamu akan mengalahkan satu tubuhmu. Disaat tubuh dibawah dua kepalamu mati, maka akan tamatlah dua kepalamu secara otomatis. Tidak ada yang tersisa, tamat sudah. Apa itu yang kita mau…?

Apa salahnya jika salah satu mengalah, atau apa salahnya jika semuanya berdamai demi terwujudnya cita-cita ikatan, perjalanan akan masih sangat panjang, sangat akan sia-sia jika waktu yang ada hanya dibuat bersitegang. Banyak pekerjaan rumah yang menanti untuk diselesaikan, katamu perkaderan masih belum sempurna, mari kita sempurnakan. Katamu masih banyak identitas yang harus digali, mari kita lakukan. Katamu kemandirian ikatan masih belum ada, mari kita lakukan. Katamu bla… bla…bla…,, dan banyak lagi bukan pekerjaan kita yang masih belum tuntas, tidak saatnya kita bertekuk dagu, bukan saatnya kita murung merenungi keadaan. Kita harus melakukan perbaikan mulai dari sekarang, tidak ada kata terlambat untuk bersikap.

Buang rasa egoisme mulai saat ini..

Tidakkah kita letih untuk saling menyalahkan, bukankah sebuah introspeksi adalah jalan yang terbaik untuk kemajuan kita , sangat bosan jika kita harus mendengar perpecahan yang tidak ada ujungnya, saling ingin menang sendiri saling sikut sana sini, tidak peduli apakah itu adalah seorang kawan kita yang dulunya sama-sama sering berdiskusi mengenai keadaan bangsa ini dengan kita, saling menjelekkan antar insan. Apa kita tidak berfikir kearah perbaikan sama sekali., ingat lah Agama, Persyarikatan dan bangsa ini masih membutuhkan kita.

Apa sepertinya kita lupa dengan kebesaran kita, apa kita lupa dengan usia kita yang hamper setengah abad ini, atau pura-pura lupa saja. Sebenarnya kita saling mengerti tentang apa yang kita harus lakukan untuk perbaikan.

Buang rasa egoisme, komitmen adalah totalitas perjuangan, kebijaksanaan ada dipelupuk mata kita…

 

www.pahlawanlangitbiru.wordpress.com

www.khusnulmaarif.wordpress.com

@khusnulmaarif

Sholarship : Beasiswa Southeast Asian Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture (SEARCA)

Gambar

Southeast Asian Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture (SEARCA) menawarkan beasiswa pascasarjana 2014-2015 untuk jenjang S-2 dan S-3 kepada para peneliti dan profesional di bidang pertanian. Beasiswa ini khusus ditawarkan kepada kandidat dari negara-negara Asia Tenggara, yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Timor Leste dan Vietnam.

Beasiswa ini meliputi biaya kuliah, tunjangan buku, tunjangan penyusunan tesis dan disertasi, asuransi dan tiket perjalanan pp, serta biaya hidup sebesar 400 dolar AS per bulan.

Kandidat bisa memilih program studi yang terkait bidang pertanian, seperti ilmu pengetahuan hayati, ilmu pengetahuan sosial, ekonomi dan statistik, kehutanan dan perikanan, ilmu lingkungan, teknologi agro industri dan teknik, kimibiokimia dan manajemen pengembangan.

Beasiswa akan berlaku untuk kandidat yang memilih studi di sejumlah universitas mitra SEARCA. Universitas-universitas tersebut adalah:
– Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor, Indonesia
– Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Indonesia
– Universiti Putra Malaysia (UPM), Selangor, Malaysia
– Kasetsart University (KU), Bangkok, Thailand
– University of the Philippines Los Baños (UPLB), Laguna, Filipina
– University of the Philippines Diliman (UPD), Quezon City, Filipina
– University of the Philippines Visayas (UPV), Iloilo, Filipina

Beasiswa ini hanya bisa dilamar oleh kandidat yang bekerja di institusi pendidikan, lembaga riset atau kantor pemerintah. Kandidat harus berusia di bawah 35 tahun.

Pendaftaran terkait dengan kementerian pendidikan di masing-masing negara asal kandidat. Namun, tenggat awktu yang diberikan untuk pendaftaran sama, yaitu paling lambat 30 Juli 2013. Informasi lebih lanjut dan formulir aplikasi bisa diperoleh di http://www.searca.org/index.php/component/content/article/26-scholarship-announcements/990-searca-graduate-scholarship-for-southeast-asians-2014-2015

Japanese yang sangat Wong Indo

Gambar

 

Profesor Hisanori Kato punya banyak cerita soal masalah sosial di Indonesia. Di antaranya soal urusan ketepatan waktu dan konflik antar ormas Islam di Tanah Air.

Dalam bukunya yang berjudul ‘Kangen Indonesia’, Kato menceritakan pengalaman selama belasan tahun tinggal di Indonesia. Pria yang kini bekerja sebagai dosen di Jepang itu merindukan Indonesia, dengan semua permasalahannya.

Di beberapa bab bukunya, Kato mengaku dekat dengan sejumlah tokoh ormas Islam di Tanah Air. Mulai dari almarhum Gus Dur, pimpinan JAT Abu Bakar Baasyir, tokoh JIL Ulil Abshar, hingga petinggi FPI Habib Riziek Shihab. Kedekatan Kato terjadi sewaktu menulis penelitian tentang ormas Islam di Indonesia. Saat itu, dia sedang menyelesaikan studi sosiologi agama di Sydney, Australia.

Nah, selama proses penulisan itu, dia sering mendengar orang Indonesia mengatakan ‘Insya Allah’ saat berjanji. Pada kenyataannya, banyak orang Indonesia menggunakan frase tersebut untuk berjanji yang tidak pasti. Bahkan mereka menggunakannya untuk alasan ketidaktepatan waktu atau janji.

“Sebagai orang Jepang, kalau saya berkata ‘Janji ya?, saya ingin lawan bicara mengatakan ‘ya, saya mengerti’. Tetapi banyak orang Indonesia menjawab ‘Insya Allah’,” tulis Kato dalam bukunya.

“Suatu hari saya berjanji dengan seseorang sampai waktunya janjiannya lewat orang itu tidak muncul juga. Dia berkata ‘karena hujan saya tidak pergi’,” sambungnya.

Kato sempat menilai ‘Insya Allah’ sebagai kata sakti untuk tak menepati janji. Namun setelah dia bertanya pada Gus Dur dan sejumlah tokoh-tokoh Islam, konsep Insya Allah bukan demikian.

“Yang terakhir Allah yang menentukan, tetapi sampai batas itu manusia harus berusaha dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya,” demikian pesan Gus Dur pada Kato. Ucapan Gus Dur pun terbukti. Kato sempat menemukan orang Islam yang benar-benar menepati ucapan dan janjinya di kemudian hari.

Nah, selain masalah janji Insya Allah, Kato juga menyoroti pertentangan antar ormas Islam yang tak kunjung kelar, terutama kalangan fundamental melawan liberal.

Bagi Kato, para tokoh-tokoh yang ditemuinya sangat terbuka dan mau berkomunikasi. Bila itu dilakukan, penyuka masakan padang ini yakin bisa terjadi sebuah keharmonisan.

“Karena keduanya, baik kelompok Islam liberal maupun Islam fundamental sudah meluangkan waktu untuk saya yang nonmuslin, saya pun percaya bahwa bukan tidak mungkin di antara sesama muslim bisa bermusyawarah dan berembuk,” tuturnya.

Tak lupa, Kato juga kangen dengan suasana Ramadan di Indonesia. Dia punya banyak cerita soal pengalaman puasa dan kehangatan orang-orang yang menjalaninya.

Muhammadiyah and radicalism: Relationships and intersections

Pradana Boy ZTF, Singapore

 

In commemorating its centennial anniversary November this year, Muhammadiyah, the second largest Islamic organization in Indonesia, is organizing an International Research Conference on Muhammadiyah, or IRCM, at Muhammadiyah University of Malang, East Java, from Nov. 29-Dec. 3. More than a dozen internationally reputable experts in Muhammadiyah studies will discuss, scrutinize, asses and analyze many aspects of Muhammadiyah’s movements, ranging from its religious stance, social achievements, education, to political dynamics. Among so many topics that are highly debated will be Muhammadiyah and radicalism.

It cannot be denied that the ascendance of Islamic radicalism in the post-New Order Indonesia has created a number of schools of thought. Among them is the association of Islamic radicalism with modernist and puritan Islamic groups, including Muhammadiyah. One main reason for this attribution is the fact that some main players of radicalism in Indonesia are connected to Muhammadiyah, including, 2002 Bali bombers Amrozi, Mukhlas and Ali Imron, being the most popularly cited examples.

In responding to this fact, two opposing views emerged. On the one hand, some observers and scholars, such as Nahdlatul Ulama (NU) chairman Said Agil Siradj, have exaggerated the fact and jumped into the conclusion that Muhammadiyah is a “producer” of radicals. Muhammadiyah’s inner circles, on the other hand, are defensive by stating that the association is non-sense and is politically motivated. However, both views are not based on a rigorous assessment and mostly motivated by prejudices and a shallow understanding of the complex dynamic of Muhammadiyah, on the part of observers; and by exclusive-mindedness and fanaticism, on the part of Muhammadiyah activists.

Based on my research, which took the case of emerging radicalism in predominantly Muhammadiyah region of Lamongan, East Java, it can be concluded that basically Muhammadiyah has made an indirect contribution to the emergence of radicalism among the youth. The contribution can be described in the following points. 

In terms of religious doctrine, Muhammadiyah shares certain fundamental traits with radical Islamic groups. Those intersections are their attitude toward the Scripture, local cultures and traditions. Theoretically, Muslims’ attitude toward the interpretation of the Koran can be broadly identified in terms of literalist, semi-literalist and 
progressive. 

While the founder of Muhammadiyah took a progressive approach in interpreting the Koran, most Muhammadiyah members in the current context adopt the second approach, while it is academically accepted that the second approach is also followed by most radicals, most notably their ideologues such as Sayyid Qutb and Abul A’la al-Mawdudi. 

For the lack of a better term, I refer to this intersection as the “elementary relationship” of Muhammadiyah and radicalism. At this stage of the interplay, Muhammadiyah’s doctrine of puritanism has a minor but determining role in spreading the seeds of radicalism among certain activists. However, those seeds developed and advanced not in Muhammadiyah milieu, but outside Muhammadiyah. The case of Ali Imron and Amrozi evidence of this. 

In his memoir, Imron (2007) acknowledged that the seeds of radicalism were firstly planted in him when he was educated at a Muhammadiyah boarding school in his hometown Lamongan. However, the seeds did not grow into fertile plants until he was involved in jihad training in Afghanistan, a path paved by his brother, Mukhlas, who was running an Islamic boarding school in Johor, Malaysia. 

Interestingly, those who have transformed into radical activists although previously connected to Muhammadiyah, have now separated from it on the basis that it is less radical and not in line with radicals’ agenda of the Islamization of society. The dispute between Mukhlas and his brother Khozin, who is currently a Muhammadiyah member, is a clear example. When Mukhlas transformed into a radical, he often warned Khozin not to maintain his association with Muhammadiyah, since in Mukhlas’ view being involved in Muhammadiyah would bring no benefits. 

The next type of relationship between radicalism and Muhammadiyah is what I term as the “return-for-salvation” stage. At this stage, the established radicals now return to Muhammadiyah not to rejoin the organization but come with a claim to save it from elements, doctrines, beliefs and practices that they perceive as un-Islamic, on the one hand; and to persuade Muhammadiyah youths to join radical fronts, on the other.

In many cases, those who previously studied in Muhammadiyah educational institutions now dare to openly challenge and question Muhammadiyah local leaders’ positions on certain Islamic topics. Although those radicals are aggressively approaching Muhammadiyah youths, it is interesting to note that Muhammadiyah youths are different in responding to radical calls: those who accept the calls and those who critically reject them. 

The former group is generally those who are experiencing the crisis of identity that, as in the Lamongan case, is caused by the exclusive attitude of most Muhammadiyah local leaders. This attitude has furthermore led them to be deterministic in identifying what thoughts and practices are in line with Muhammadiyah and which are not. Consequently, this attitude has also contributed to the emergence of new radicals among the youth.

For its 100th anniversary, therefore, it is important for Muhammadiyah to reassess its religious doctrines, reformulate it reform attitudes, as well as revisit its leaders’ attitude toward differences, especially in dealing with the youth who are experiencing crisis of identity and “religious openings” and “cognitive seeking.” 

If Muhammadiyah local leaders do not change their deterministic attitude, in the long run, Muhammadiyah will be no more interesting for the youth and they will switch their preference to radical Islamic groups. When this happens, it is hard to deny that Muhammadiyah is actually playing its role in strengthening Islamic radicalism.

The writer is an activist of Muhammadiyah Young Intellectual Network (JIMM) and is pursuing a PhD at National University of Singapore.